Halaman

Selasa, 06 Juli 2010

Di Atas Normal


Oleh: Ilham Kudo

Padahal Tarjim menginginkan ketenangan. Tetapi hal itu telah pupus. Bisa-bisanya di pagi buta ini, saat sedang lari pagi di taman kota, dia tak sengaja tersepak kepala presiden. Karena peristiwa ini, mana bisa dia tenang. Apalagi... Astaga kepala beliau menggelinding!
Dia benar-benar senewen. Tak berlebihan, jika dia mengacak-acak rambutnya yang jarang, menangis sejadi-jadinya sampai-sampai tenggorokan serak, hingga berguling-guling di tanah. Apa yang akan terjadi pada negeri ini, sementara kepala pemimpinnya terlepasa dari tempatnya?! Dan yang pasti keberadaannya di dunia ini terancam. Hukuman pancung yang kejam bersileweran di pelupuk matanya.
Tidak... Aku telah membunuh presiden!

Kesana-kemari, dia mengguncang bahu-bahu orang di sekeliling, mengharap pertolongan.
“Benar, aku tak sengaja. Tolong aku!”
Namun yang didapatnya cuma tepisan, ketakutan orang-orang pada dirinya dan tawa serta cemoohan yang tak jelas. Ada apa dengan mereka? Apa mereka sudah gila? Tertawa di kala kepala presiden mereka cedera.
Semakin geger pikirannya, menyaksikan seorang bocah memungut kepala itu. Tak tanggung-tanggung, malah dia perainkan bersama bocah lainnya. Digiring seperti bola, disundul tanpa takut, ditembak menuju gawang. Darah berceceran dari putusan leher. Aroma anyir menyeruak. Menjijikkan. Saking ngerinya, mentalnya memilih kegelapan ketimbang menikmati kegilaan ini. Pingsan.
*****
Sungguh jarum jam telah sampai dibilangan dua belas, dan di media langit bulan berbendar. Orang-orang di rumah telah lelap. Tapi dia tidak. Sayup-sayup jangkrik mengalun-alun, juga tidak mengsugesti tentram yang menidurkan Tarjim.
Hatinya bukan sedang tentram, melainkan dilanda kocak. Dua sudut bibir dan tawanya ditarik oleh seekor kucing. Kucing yang terlewat lucu, di matanya. Tengah malam senyap jadi koyak, karena tawa bertalu-talu.
Matanya sampai berair, demi menyaksikan kucing bercorak biru-hitam berdiri di atas kaki belakang, lantas menggoyangkan pinggulnya. Ngebor. Bahkan keramik yang sebagai pijakan berlubang. Akibat kuatnya gesekan. Berasap.
Tak habis ulah si kucing mengenakan topi beratap cincin. Dia tundukkan hingga menu-
tupi matanya. Lelaki yang tertawa itu semakin menjadi-jadi gaduhnya. Dia tahu, sangat, mengenal fose itu.
Dengan gerakan yang sempurna, si kucing seolah jalan maju tapi pada kenyataan dia terseret ke belakang.
“Michael Jackson, hahaha...!” terak lelaki itu sambil memegang perut tambun yang bergoyang-goyang. “ Aku suka. Aku suka itu!”
mengenal pose itu.
Dengan gerakan yang sempurna, si kucing seolah jalan maju tapi pada kenya-taan dia terseret ke belakang.
“Michael Jackson, hahaha...!” terak lelaki itu sambil memegang perut tambun yang bergoyang-goyang. “ Aku suka. Aku suka itu!”
Binatang piaraan ini membikin ulah lain, dia main game final fantasi di laptop sambil mencet jerawat. Lelaki itu pun semakin tergelak. Berguling-guling. Memukul-mukul lantai. Terbahak-bahak. Kelihatannya dia sa-ngat menikmati pertunjukkan yang hanya bisa dilihat sebagian orang ini. Cuma segelintir o-rang yang bisa memahaminya. Dan lelaki ini salah satunya.
Nurmi yang mengintip dari balik tirai agaknya berbeda dengan lelaki ini. Selain dia seorang wanita, dia pun miris matanya. Hati-nya teriris, bukan digelitiki oleh sesuatu yang sukar dipaham seperti suaminya itu, yang ter-bahak-bahak hingga tak sadar dalam posisi jungkir.
Nurmi mengusap anak sungai di pipinya. Kabur matanya menatap stiker di lan-tai. Dipungutnya. Stiker bergambar suaminya dalam balutan jas dipadukan dasi motif ren-cong. Limpah wibawanya. Di sudut atas se-belah kanan, terpampang logo sebuah parpol. Di bagian bawah tertera jargon: Orang pintar nyoblos orang pintar.
Wanita yang sayu itu tidak tega melihat suaminya seperti ini lebih lama lagi. Segera dia gendong kucing, yang setahu dia dari tadi tiduran di keset.
Gelak Surya bungkam. Sifat wajahnya berubah.
“Hei mau kau kemanakan Doraemonku?!” bentaknya.
Nurmi hanya memalingkan muka sepintas, kemudian terus menuju teras. Surya bangkit dari jungkirnya dan mengekor Nurmi cepat.
“Kemarikan Doraemonku!”
Nurmi tak menggubrisnya. Namun Surya merampas kasar dengan cara menarik ekor. Tentu saja kucing itu menjerit, sebelum akhirnya kabur.
Surya hanya terpaku melihat Doraemonnya hilang di kesesatan malam. Matanya menukik Nurmi...
“Lihat, kau membuatnya marah!”
“Sudah jangan teriak-teriak. Ini sudah malam,” sahut Nurmi, curah air matanya.
“Kau memisahkanku dengannya.” Tiba-tiba saja Surya menangis.”Kau tega.” Dia memeluk lututnya.
Nurmi mengusap anak sungai di pipinya. Kabur matanya menatap stiker di lantai. Dipungutnya. Stiker bergambar suaminya dalam balutan jas dipadukan dasi motif rencong. Limpah wibawanya. Di sudut atas sebelah kanan, terpampang logo sebuah parpol. Di bagian bawah tertera jargon: Orang pintar nyoblos orang pintar.
Wanita yang sayu itu tidak tega melihat suaminya seperti ini lebih lama lagi. Segera dia gendong kucing, yang setahu dia dari tadi tiduran di keset.
Gelak Tarjim bungkam. Sifat wajahnya berubah.
“Hei mau kau kemanakan Doraemon-ku?!” bentaknya.
Nurmi hanya memalingkan muka sepintas, kemudian terus menuju teras. Tarjim bangkit dari jungkirnya dan mengekor Nurmi cepat.
“Kemarikan Doraemonku!”
Nurmi tak menggubrisnya. Namun Tarjim merampas kasar dengan cara menarik ekor. Ten-tu saja kucing itu menjerit, sebelum akhirnya kabur.
Tarjim hanya terpaku melihat Dora-emonnya hilang di kesesatan malam. Matanya menukik Nurmi...
“Lihat, kau membuatnya marah!”
“Sudah jangan teriak-teriak. Ini sudah malam,” sahut Nurmi, curah air matanya.
“Kau memisahkanku dengannya.” Ti-ba-tiba saja Tarjim menangis.”Kau tega.” Dia memeluk lututnya.
Nurmi jadi tak enak. Dia pegang bahu suaminya. Tapi langsung ditepis.
“Lebih baik kita tidur, yuk,” ajak Nur-mi sok renyah, padahal jiwanya alot.
“Kau harus cari Doraemonku!” Tiba-tiba Tarjim marah.”Cepat cari!!!”
“Tapi ini sudah larut malam.”
“Kataku cari!!! Atau kau ingin...” Tarjim mencekiki istrinya.”Atau kau ingin mati?!”
*****
Nurmi baru datang dari apotek. Dia dapati Ferdi, anak semata wayangnya yang masih SMA itu.
“Ibu membeli obat penenang untuk ayah, ya?”
“Iya. Buat jaga-jaga kalau ayahmu mengalami keguncangan lagi,” jawabnya selagi mengeluarkan suntikan dari plastik.
“Sudah nggak perlu. Mulai sekarang Ibu nggak usah repot-repot lagi.”
Nurmi menangkap suatu gelagat. Ada sesuatu di balik senyum sinis Ferdi. Nurmi segera berlari ke kamar suaminya, dilanjutkan membuka pintu semua ruangan sambil memanggil-manggil nama suaminya. Nurmi khawatir, Ferdi telah melakukannya.
Dengan sedikit marah, Nurmi mengahampiri Ferdi dan menanyainya.
“Di mana ayahmu?”
Diam.
“Jawab!”
Ferdi tersenyum licik. “Di tempat di mana seharusnya dia berada,” jawabnya dingin.
Nurmi telah di ubun-ubun pitam.
“Durhaka kamu, Ferdi!!!” Satu tamparan bersua di pipi sang anak. “ Dia itu ayahmu!”
Ferdi mengelus pipinya, dan senyum iblisnya masih ada.
“Kau tempatkan di RSJ mana?!”
“Halah... Pokoknya Ibu nggak usah khwatir, di RSJ mana pun , pantas untuk orang itu.” Intonasinya betul-betul suci, seperti tak menanggung kesalahan apapun.
“Ferdiii!” Nurmi ingin menampar-nya lagi, tetapi pergelangannya keburu tersekap genggaman Ferdi. Dia hempaskan tangan ibunya dengan kasar. Nurmi kehilangan keseimbangan dan jatuh. Dia rasakan nyeri di bagian bahu.
“Harusnya Mama berterimakasih kepada Ferdi! Karena Mama nggak perlu repot lagi ngurusin orang nggak waras itu!”
“Tapi dia itu tetap ayahmu!”
“Ma! Ferdi udah cukup malu, Ma! Malu sama teman-teman. Ibu tau ‘kan apa ulah orang stres itu kemarin pas teman-teman Ferdi ngumpul. Dia benafsu ingin mencium Andre sambil teriak-teriak: Istriku... istiku...!”
Nurmi menyumbat mulutnya, tangisnya. “Dia tidak gila, hanya sedikit terguncang...”
“Kemarinnya lagi, dia nangis-nangis di taman kota. Karena apa? Cuman karena tersepak bola anak kecil! Apa itu nggak cukup membuktikan? Dia itu gila kalah di pilkada”
Tak ada suara lagi yang keluar dari kerongongan kering Nurmi. Dia terlalu shock.
Merasa belum puas, Ferdi menambahkan knockdown.
“Dan malam tadi, Ibu hampir mati dicekik caleg error itu. Hanya gara-gara seekor kucing. Hidup Ibu terancam bila dia tetap di sini!” []

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentarnya

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.