Halaman

Selasa, 06 Juli 2010

Iblis Tidur

Akulah pemilik mata merah. Memyeret-nyeret kaki di trotoar yang terang dan gelap berselang-seling. Bibirku mengapit sebatang LA Menthol. Jadilah mulutku bak knalpot mobil tahun tujuh puluhan. Seperti pisau, udara malam me-nusuk belulangku, setelah berhasil menembus kemeja dan pori-poriku. Aku tahu bahwa diriku kedinginan, tapi aku melepaskan jasku dan menggantungkannya di salah satu pundak. Bukan apa-apa,ini karena tuntutan. Bukankah tuntutan dari orang yang stres itu mesti berpakaian acak-acakan? Kemejaku pun kancingnya lepas sebagian dan dasi kujadikan penutup mata. Aku ingin tidur!
Akulah pemilik mata retak. Menyusup di sela-sela bangunan raksasa. Jalan-jalan telah lengang, hanya beberapa mobil yang kadang berhenti di samping wanita ber-make up menor dan ketika mobil tersebut jalan lagi, wanita tadi hilang dari tempatnya.

Agaknya cuaca mendung, dari tadi angin bertiup kencang. Orang-orang telah lari ke balik selimut. Aku pun ingin begitu, sangat capek. Saat malam bertandang, memarahi karyawan yang kerjaan-nya nge-game terus siang tadi, cukup meremas-remas otakku. Ini-lah waktunya bermanja di spring-bed. Namun keempukan kasur dan kehangatan selimut tak lebih hanya-lah sebagai fasilitas untuk menda-patkan kenyenyakan tidur.
Sialnya, yang kudapat cuma sebatas fasilitas. Meskipun mataku telah memerah darah berbentuk retakan laksana bengkakan tanah di musim kemarau, tetap saja aku tak dapat tidur lelap. Tidur nyenyakku telah diambil Tuhan!
Terkadang aku hampir sin-ting jika memikirkannya, bisa-bisa-nya para gembel tidur tenang. Pada-hal mereka tidak tahu, apakah besok mereka akan makan sampah atau makian orang. Bisa saja mereka sarapan dengan air got karena dua kecerobohan, karena terlambat ba-ngun dan memilih pelataran ruko yang salah. Kadang pemilik ruko bangun lebih pagi dan kebetulan ia adalah seorang tiran1. Tak segan orang macam ini mengguyur gembel yang tidur di pelataran rukonya dengan air got.
"Pergi pembawa sial, nanti toko saya bau gembel!
Lantas apa yang salah dengan-ku, hingga aku harus menanggung kutukan ini. Padahal makananku terja-min kehegienisan-nya dan sarat gizi, kediamanku tangguh, suhu di dalam-nya mampu beradaptasi terhadap per-geseran musim. Jangan pertanyakan berapa jumlah uangku, sebab aku su-dah lupa berapa jumlahnya.
Bermacam cara telah kuja-lani, dari berkonsultasi dengan dokter sampai mendekorai kamar sedemikian rupa. Suatu kali, aku pernah bertemu seorang profesor yang bernama Najmuddin yang tak begitu kukenal. Dari bola mata dan kantung mataku, ia tahu bahwa aku termasuk orang jepang yang mengidap insomnia. Ka-tanya, tidurlah di bawah pendar lampu biru violet, itu bisa membuat rileks dan mensugesti tidur. Tapi semuanya nihil. Aku muak dengan semua itu.Kucari alternatif lain, yang sempat ter-pikirkan adalah jalan religius
Bukankah Tuhan yang berkuasa atas segala makhluknya? Karena itu, sehabis misa di Hari Minggu, aku rutin membuat penga-kuan dosa. Mungkin saja dalam diriku ada dosa yang mengge-lisahkanku. Sering juga aku me-nangkupkan kedua tanganku di hadapan Tuhan Yesus. Tapi, tam-paknya Tuhanku yang satu ini tuli, sebab permintaanku tak kunjung diluluskan olehnya. Apakah aku salah berasumsi bahwa Yesus itu adalah Tuhan? Ataukah sebaiknya aku kembali kepada Tuhan-ku yang dulu saja?
Tuhanku yang dulu saja? Tuhan Matahari. Oh,tidak!!! Dia bukannya mem-bantuku, malah sebaliknya, cahayanya itu sangat menyilaukan.
****

Bawang putih busuk meng-gantung dimana-mana dengan bau yang anyir, belum lagi asap kemenyan yang menyesakkan. Ruangan tempat aku berada sekarang tidak mempunyai jendela. Pengap. Hanya dipendari jajaran lilin yang meliuk-liukkan apinya. Temboknya dila-pisi kain hitam. Dengan bergidik, kulirik di pojok meja rendah di hadapanku, teronggok tengkorak tempurung kepala. Entah asli atau hanya manipulasi.
Kemarin…
Hari ini bukan Minggu, melainkan Jum'at. Makanya, orang yang lari pagi hari ini tampaknya cuma aku seorang. Mayo-ritas orang disibukkan oleh rutinitas ma-sing-masing. Aku? Aku tak masuk kerja. Lagipula, siapa yang berani memecat pemilik saham terbesar?.
Sebelumnya, asaku nyaris putus, hingga kudengar perkataan orang bi-jak,"capek adalah obat tidur paling muja-rab”. Baiklah, tekadku sudah membatu. Mungkin saja staminaku ini perlu dikuras habis-habisan. Setidaknya, aku pingsan setelah berlari seharian tanpa makan dan minum. Matahari mulai memanjat langit saat aku siap dengan trainingku. Langkah menuju tidur pun dimulai.
****
Kakiku mulai pegal. Kutengok arlojiku, baru pukul 08.00. Penat. Kubaringkan tubuhku di kursi halte. Semoga bisa tertidur. Hingga 15 menit, tak kudapatkan tidurku. Yang kudapat hanya malu dari orang-orang yang menatapku heran.Aku berpikir ini belum cukup. Aku pun kembali berlari.
****
Lututku lepas…!! Itu jika lutut ini ber-cap "Made in China". Matahari telah mencapai puncaknya. Garang. Kali ini aku takkan berhenti kecuali pingsan. Mukaku basah ku-yup oleh keringat, meliuk-liuk di-lekukan wajahku dan berakhir di ujung dagu. Lidahku kemarau. De-hirasi ringan akan membuatku ping-san. Pasti.
Jalanku mulai zig-zag, serupa modus petir Dewa Zeus. Bu-nyi klakson menitahku menying-kir ke pinggir jalan.
“Bug!!!”
Spion Strada membentur le-nganku. Berputar-putar sebelum akhirnya aku tersandar di bawah Pohon Akasia. Seseorang di jok pengemudi menghardikku.
"Jepang edan! Udah mata sipit, naruhnya di dengkul lagi. Nggak liat apa mobil segede gini?!" Strada berlalu dan menghadiahiku karbon dari knalpot.
Tak sengaja, di seberang sana, di halaman Mesjid At-Tanwir, dengan samar kulihat pemandangan ganjil. Seketika bola mataku lepas dari cangkangnya. Mulutku dima-suki seekor lalat karena dikira sebuah gua. Tubuhku lumutan. De-ngan terburu-buru aku seberangi jalan ke arah mesjid.
Aku mengendap-ngendap di selasar pagar mesjid untuk men-dekat, dan memastikan pemanda-ngan di luar nalarku itu.
Berkali-kali kukucek mata-ku, kupukul pipiku, kugigit lidahku, dan semua itu sakit. Ini bu-kan mimpi. Pemuda bertopi bundar itu benar-benar tidur di halaman ini!
Karena di dalam mesjid penuh, sebagian jemaat menghamparkan sejenis taplak berbulu di halaman mesjid. Selagi orang berjubah yang berdiri di atas semacam tangga beratap memberikan petuah, di halaman ini, pemuda bertopi bundar itu menelungkup. Padahal matahari tengah garang dan juga halaman ini berkerikil, tentunya tidak nyaman diduduki. Lebih-lebih disini bising, diakibatkan oleh lalu-lalangnya motor orang yang rendah moral-nya.
Aku harus tahu rahasianya. Dengan mengintip dan menguping, akhirnya teman di samping pemuda itu menyenggolnya.
"Wooii… bangun!!! Cepat wudhu, bentar lagi Shalat Jum'at!".
Dengan malas pemuda itu membuka matanya sambil menguap kuda nil. Saat meregangkan otot dia berujar, "Setiap kali khutbah pasti gue ngantuk mulu".
"Mata lo itu emang digantungin Iblis mulu,"timpal temannya.
Aku terperangah dengan dahi kumal. Iblis? Aku harus mencari iblis, biar nanti kusuruh dia menidurkanku. Setahuku yang mempunyai relasi dengan iblis adalah dukun, karena itulah aku bisa sampai di tempat ini yang dikelilingi asap dupa ini.
"Anda ingin kaya kan?" tebak Mbah setelah mencium kerisnya.
"Saya sudah kaya," sahutku dingin.
“Oh…maaf, belakangan ini Mbah kurang konsentrasi, jadi sering ngelantur, he…he…, silahkan, apa keperluan anda?"
"Pertemukan saya dengan iblis!" pintaku mantap.
****
“Praang!!! “
Kubanting botol kaca kecil yang berisi kertas itu, pemberian dari Mbah yang tidak cuma-cuma. Katanya gulungan itu surat rekomendasi untuk iblis dan harus dilarutkan di sungai di malam Jum’at Kliwon.
Karena penasaran, aku iseng membuka tutup botol itu. ternyata bekas lembar kertas soal ulangan. Aku pun murka. Bukan karena habis lima juta, melainkan karena kebodohanku. Bisa-bisanya aku yang jenius ini percaya dukun, atau aku sudah ini Brengsek! Ternyata di dalamnya cuma selembar kertas. Aku benar-benar sudah gila.
Sudah kuputuskan dengan bulat, Jum'at pekan ini aku akan ke mesjid akan kukorek informasi ten-tang Iblis. Setahuku, Iblis itu adalah makhluk yang menyesatkan, dan mempunyai tanduk. Entah iblis ma-cam apa yang dimaksud oleh pemuda bertopi bundar itu. Iblis tidur, mungkin.
Aku berangkat ke mesjid dengan seragam yang lengkap. Me-makai topi bundar, baju koko dan celana kain. Sebenarnya aku ingin memakai sarung, tapi susah.
Aku kikuk berbaur dengan jemaat yang asing bagiku. Orang-orang di sekelilingku menjabat ta-nganku. akrab. Namun, aku agak canggung, sebab tidak terbiasa ber-jabat tangan dengan orang yang tidak dikenal.
Orang berjubah putih me-naiki tangga beratap, dan petuah pun mengalir. Beberapa orang benar-be-nar tertidur. Petuah itu terdengar se-perti nina bobo telingaku. Entah su-gesti darimana dan aku tidak bisa mendeskripsikannya, mataku terasa berat. Leherku capek menahan ke-pala yang semakin berbobot, hingga da-guku menempel di dada, sampai akhirnya aku tak sadarkan diri.
Sesaat kemudian…
"Mas, bangun! Sholat!!" sese-orang membangunkanku.
Membangunkanku?!
****
Aku hampir saja histeris karena terlewat senang, jika tidak sadar bahwa aku berada di mesjid. Inikah hawa iblis? Aku akan menjalin relasi dengannya. Jika sudah akrab, kuajak saja dia ke rumah, agar di ru-mah pun aku bisa tidur.
Seusai shalat. Langkah pertama kusenggol orang di sampingku dan ber-tanya.
"Saya pengidap insomia. Aneh-nya, ketika petuah tadi dibacakan saya pun ter-tidur. Bisakah anda memberitahu saya, iblis macam apa yang menidurkan saya tadi?".
Dia sempat bingung, namun se-gera menguasai keadaan.
"Saya kurang paham maksud per-tanyaan saudara. Tetapi yang jelas, yang me-nidurkan anda tadi itu adalah Allah, Tuhan yang tidak pernah tidur".
Allah? Jadi bukan iblis.
"Terserah siapa pun orangnya, tapi bisakah anda membantu saya men-ciptakan relasi antara saya dengan orang yang menidurkanku tadi?” Aku pun bicara blak-blakan, tanpa peduli ketahuan bahwa aku adalah non islam.
"Insya Allah," jawab Profesor Najamuddin yang awalnya tidak kusadari.
Insya Allah? Istilah apa lagi itu? Kuanggap saja itu sebagai ungkapan deal, sebab kulihat tadi dia mengangguk[Ilham Kudo]

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentarnya

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.