Halaman

Senin, 08 November 2010

Budaya Psikopat



Kepulan asap menguasai salah satu titik Distrik Nurema, bagian utara Pulau Gigoba. Biasanya wilayah ini memang surganya asap dari pabrik-pabrik raksasa. Penyumbat pernapasan dunia.Tapi kali ini asapnya berbeda. Asap kali ini bukan lagi sebetas asap yang membunuh manusia pelan-pelan seperti hari biasanya.
Baru saja sebuah pabrik meledak. Pabrik beton itu melumer usai ledakan hebat. Tanah bergetar, seperti gemerutuk rahang kambing waktu musim dingin. Sejurus kemudian, situasi terlalu kacau untuk suatu hari di pagi minggu yang cerah. Hal ini bersangkutan nyawa para buruh pabrik yang rekatannya sudah agak longgar di jasad disebabkan oleh api yang mengepung dan tekanan ledakan serta benda-benda yang terbang akibat tekanan tersebut.

Faruq cedera ringan di lengan kanannya akibat percikan api. Pagi ini ahli kimia itu pergi ke laboratium melewati jalan depan pabrik naas itu. Seharusnya lab tutup hari ini, tapi kunci di tangannya. Dia bisa berbuat apa saja di ruangan yang sangat mengerti akan dirinya itu. Saat itu dia membeli rokok, atau lebih tepatnya tembakau dalam rokok untuk bahan percobaan di kios samping pabrik. Tiba-tiba saja terdengar dentuman keras. Seketika atap pabrik terlepas ke langit. Dari celah-celah keluar benda-benda kecil yang terbakar. Salah satunya menimpa lengan Faruq.
Hari ini memang minggu, tapi pabrik tetap bergerak. Para buruh hanya mendapat jatah satu hari libur tiap bulannya itu pun bergantian. Dari pintu darurat para buruh berdesakan keluar. Bahkan ada yang terinjak. Tidak tau apa-apa lagi, yang ada dalam pikiran mereka adalah diri mereka sendiri, keselamatan pribadi.
Faurq tidak menghiraukan lukanya. Dia mengambil ponselnya.
Cipto, teman sekantor Faruq yang numpang mobil dan punya hobi sama segera menarik lengan Faruq. Dia tidak sadar bahwa lengan Faruq mengalami luka bakar.
“Ayo!” serunya.
“Iya. Ini aku lagi menghubungi!” tukas Faruq.
Cipto mengerut. “Tidak ada yang perlu kau hubungi! Ikut aku ke rumahku. Semuanya telah kusediakan. Sudah lama kutahan, tapi ini saatnya kita harus balas atas pembantaian ini!”
“Apa yang kau maksud?!” tanya Faruq berteriak, sebab polusi suara yang intensitasnya melampaui 50 desible di mana-mana.
“Kau ikut aku saja. Kita ke rumahku dulu dan ambil yang diperlukan. Setelah itu langsung ke katedral pusat. Aku tahu biang kerok semua ini pasti bersembunyi di situ. Biar mereka tahu kita tidak diam saja dan membuat mereka jera.”
“Apa kau sudah gila dan buta!” hardik Faruq.
“Mereka…” Faruq menunjuk ke arah pabrik. “…tidak memerlukan itu. Mereka perlu ambulan dan pemadam!”
“Urusan itu pasti sudah ada yang menyelesaikan. Dan sekarang harus ada yang memperingatkan para pelaku peledakan ini. Ini pabrik yang buruhnya mayoritas muslim, kau tahu itu. Kau sebagai muslim sejati harusnya tanggap. Lihat saudara-saudara kita diperlakukan seperti itu! Apa kau mau diam dan tidur di balik selimut saja! Mana semangat jihadmu!”
Asap semakin menebal. Satu ledakan meraung marah. Sepertinya ada yang meledak lagi. Faruq dan Cipto merunduk mendengarnya. Gawat, di pabrik itu banyak bahan bakar.
“Terserah kau. Aku harus secepatnya bertindak yang semestinya dan tentunya masih dengan akal sehat.” Faruq mengacuhkan Cipto.
“Kau boleh berbuat sesukamu, tapi aku pinjam mobilmu,”sergah Cipto.
Faruq tidak menggubris permintaan temannya. Dia malah berlari ke kerumunan. Seorang wanita paruhbaya terinjak-injak. Faruq berusaha membantunya bangun. Tapi cairan merembes dari celana wanita itu. Faruq baru menyadari wanita itu ternyata hamil tua. Kenapa wanita hamil ini masih disuruh masuk kerja? Gawat ketubannya pecah. Faruq segera membopongnya ke mobil. Keadaan benar-benar abstrak dan kacau.
Faruq bingung. Dia tidak menemukan mobilnya. Sekitar berjarak 10 meteran dia melihat mobilnya menjauh. Dari spion dia tahu Cipto yang mengendarainya.
“Cipto! Kita harus ke rumah sakit! Wanita ini…”teriaknya tapi tersedak. Dia terbatuk. Asap mendobrak paru-parunya. Ledakan selanjutnya kembali terdengar, diiringi sirene pemadam, ambulan dan polisi. Dia panik dan tidak menyadari ambulan telah tiba.
“Cipto!!!” Dia menaikkan beberapa oktaf teriakannya sampai tenggorokannya sakit. Sekilas Cipto menengok spion, tapi itu tidak membuatnya banting setir.
*****
Jam satu siang Faruq baru tiba di apartemennya. Pakaian kotor di tubuhnya dia lepas dan ditumpuknya di keranjang samping kamar mandi. Tak jauh dari situ ada mesin cuci. Dia segera menyegarkan tubuhnya dengan mandi.
“Ugh…” erangnya pelan. Lukanya di lengannya tak sengaja terbentur shower. Luka itu telah dibalut perban dan diberi antiseptik. Dia jadi teringat wanita hamil itu. Dibandingkan wanita itu lukanya ini tidak ada apa-apanya. Ketubannya pecah dan juga wanita itu mengalami pendarahan hebat. Syukurlah tim medis cepat datang. Wanita itu selamat meski dia harus merelakan bayinya. Faruq jadi teringat istrinya yang juga sedang hamil. Istrinya untuk sementara tinggal di Bogor bersama orangtuanya.
Cepat, dalam lima menit dia sudah keluar dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk dia menghidupkan televisi. Berita meledaknya pabrik itu telah disiarkan. Korban terluka dan meninggal diperkirakan mencapai seribu jiwa.
Dia mencari ponselnya, bermaksud menghubungi istrinya. Tiba-tiba saja dia mendadak khawatir dan ingin melenyapkan dengan suara istrinya. Sebetulnya di akhir pekan dia mau ke Bogor, namun di otaknya terangkai susunan menarik dan untuk menghilangkan rasa menarik yang mengganggu itu dia harus ke lab dulu.
Dia tidak menemukan ponselnya. Benar juga ponselnya tadi dia tinggalkan di dashboard mobilnya.
Dia beru teringat. Ke mana Cipto membawa mobilnya. Apa benar yang dikatakannya pagi tadi serius.
Televisi LCD di hadapannya, menjawab secara tak sengaja.
Kali ini berita ledakan susulan di tempat yang berbeda. Katedral pusat. Umat kristen di Pulau Gigoba hari itu seperti kehabisan umatnya. Di hari minggu, saat katedral pusat yang luar biasa luas itu dipenuhi oleh jemaah, bangunan gereja terbesar itu meleleh. Lilin-lilin yang di atasnya ada api mungil menari-nari di tangan para anak-anak itu, api yang biasanya menemani ibadat mereka, telah berbaur dengan api yang lebih besar dan gila.
Faruq terduduk lemas di sofa.
Dia tahu, sangat tahu malah, bahwa Cipto orang yang baik. Tapi Faruq tidak tahu doktrin apa yang ada pada otak temannya itu.
“Seharusnya kau tidak melakukan itu, Temanku. Kau terlalu baik untuk ukuran perbuatan seperti ini,”lirihnya.
Faruq meyakini agama islam adalah ajaran yang paling realistis. Tapi di sisi lain dia juga menduga bahwa agama mengajarkan kebaikan, walaupun tidak semua agama benar. Paling tidak budaya teroris bukan ajaran agama siapa-siapa, apalagi islam. Itu cuma gaya hidup seorang atau suatu komunitas psikopat untuk kelangsungan hobinya, namun di atasnamakan agama.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentarnya

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.